MALAM
itu, Jumat 8 Mei 2014, saat langit masih cerah tanpa mendung menudungi UGM, di
Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri, digelar monoteater pertama di
Indonesia. Pusat Studi Kebudayaan UGM, selaku penyelenggara, mengklaim bahwa
ini merupakan monoteater yang pertama di Indonesia, sebab, ini merupakan konsep
baru dalam dunia teater, yaitu penggabungan antara monolog dan teater.
Pertunjukan semacam ini mungkin pernah dilakukan, tetapi istilah monoteater
baru kali pertama dipakai dalam pertunjukan yang dilaksanakan dua kali—Jumat, 8
Mei dan Sabtu, 9 Mei 2014—ini.
![]() |
Heddy Prasetyo dalam "Burung Pak Lurah" (Dok. Balairungpress.com) |
Naskah
“Burung Pak Lurah” ditulis oleh Habsari Banyu Jenar—mahasiswi Jurusan Sastra
Indonesia UGM—yang menceritakan kegilaan seorang lurah akan jabatan. Di akhir
masa jabatannya, ia mencoba untuk mencalonkan diri sebagai Lurah lagi. Ia
melakukan berbagai cara agar dapat menduduki jabatannya kembali, seperti
mendatangi dukun.
Selain gila jabatan,
Pak Lurah juga diceritakan memiliki kehidupan lain yang tidak diketahui oleh
warganya. Ternyata ia adalah seorang homoseksual, padahal ia sudah beristri dan
mempunyai anak. Ia menjalin asmara dengan anak dukun yang ia datangi. Ia ingin
memangku jabatan sebagai Lurah kembali agar mendapat biaya untuk menikah di
Belanda dengan anak dukun itu.
Namun, semua hal itu
hanya bisa ia ceritakan kepada tiga burung peliharaannya: Surti, John, dan Jim.
Pak Lurah selalu mencurahkan hatinya kepada tiga burung kesayangannya. Di akhir
cerita, sang istri ternyata selingkuh dengan dukun dan Pak Lurah sudah tidak
percaya lagi dengan ketiga burungnya.
Dari segi cerita,
monoteater ini sangat menarik dan aktual, karena mengangkat tema politik di
mana saat digelar, Indonesia dalam masa antara sesudah pemilu legislatif dan
sebelum pemilu capres dan cawapres. Pengangkatan tema politik ini dapat mengantarkan
penonton untuk berpikir ulang tentang makna hak suaranya dalam Pemilu 2014.
Selain itu, monoteater ini juga mengangkat wacana homoseksual yang tergolong
berani, sebab, wacana tersebut dapat menimbulkan kontra dari kalangan tertentu
dan di Indonesia sendiri hal tersebut masih dianggap tabu.
Lakon tunggal
monoteater ini diperankan oleh Heddy Prasetyo yang mampu memainkan berbagai
karakter dengan apik. Di satu sisi ia bagus berperan sebagai sosok pemimpin, di
sisi lain ia juga mampu berperan sebagai laki-laki yang kesepian karena ia
tidak mencintai istrinya, curhat pun ia lakukan kepada tiga burungnya. Di sini,
sang aktor mampu memainkan mimik muka dan aksi yang memukau.
Dari segi teknis,
monoteater ini masih bisa dikatakan lumayan, sebab, tidak ditemukan kesalahan
teknis. Hanya saja dari segi dekorasi, monoteater ini terkesan sangat sederhana
dan kurang mencirikan latar yang detail. Namun, monoteater ini mempunyai
kelebihan dengan dilibatkan juga penonton untuk menguatkan muatan politis dalam
monoteater ini. “Burung Pak Lurah” menjadi monoteater yang sangat kental dengan
kritik politik mengenai Pemilu di Indonesia. Ini bisa menjadi semacam “suara”
dalam medium yang estetis untuk mengkritisi pemerintahan kita.
Komentar
Posting Komentar