Hujan Abu (Lagi) di Yogyakarta

06.30 WIB, Pemandangan dari Atas Kali Code, Jl. Jend. Sudirman

YOGYAKARTA, Jumat, 14 Februari 2014 pukul 04.45 WIB, seperti biasanya, saya sudah siap-siap ke pasar untuk mengantarkan barang dagangan ibu saya. Dari rumah, saya membawa dua karung tempe yang dipasang di boncengan motor, dan nanti saat tiba di Pasar Telo, Karangkajen Yogyakarta, saya akan menambah barang bawaan lagiberupa sekarung ketela. Seperti biasanya, ibu saya sudah duluan memekai sepeda ke Pasar Telo dan menunggui saya. Saat saya kaluar dari rumah dan mendapati suasana gelap, saya panik sendiri, ini hujan abu dan tadi malam saya mendengar beberapa kali dentuman keras seperti ledakan yang menurut kabar dari internet itu merupakan letusan Gunung Kelud di Jawa Timur. Saya berpikir, letusan tadi malam pasti dahsyat sekali hingga abunya sampai menghujani daerah saya di Yogyakarta. Lalu saya dengan terburu-buru langsung tancap gas menuju ke Pasar Telo. Masya Allah, debu tak berhenti-berhentinya jatuh dan makin saya ke utara makin pekat dan gelap. Sial, saya tidak membawa masker. Saya yang memakai jaket warna hitam pun mendadak ngeri sendiri karena debu tebal menempel di jaket saya dan membuat warnanya menjadi putih.

05.24 WIB, Jl. Sisingamangaraja

Pasar Demangan

Saya sudah sampai di Pasar Telo beberapa saat kemudian dan tidak mendapati ibu saya sedang menunggu seperti biasanya. Saya pun bertanya kepada ibu-ibu yang biasanya juga ke Pasar Telo untuk mengangkut berkarung-karung ketela ke pasar. Katanya, ibu saya belum sampai ke pasar. Lalu saya balik arah dan begitu melewati Indomaret, langsung parkir di pinggir jalan padahal parkiran Indomaret luas dan gratis. Saya yang berbalut jaket yang memutih dan debu yang tebal pun ingin masuk tetapi tidak yakin apa boleh masuk soalnya saya kotor sekali. Untung saja penjaga Indomaretnya sedang berada di luar toko. Saya pun bertanya apakah saya boleh masuk. Boleh, katanya, tetapi saya memilih untuk menyuruhnya mengambilkan saya masker saja daripada saya mengotori Indomaret, dia pun menurut saja apa yang saya inginkan, dan saya pun membeli satu plastik masker yang isinya tiga buah dengan harga Rp6.500,00.

Kemudian, saya pun bergegas menuruti jalan dari rumah tadi, dan tidak begitu lama, saya mendapati ibu sedang mencari tempat aman untuk menghindari debu vulkanik, saya pun menghampirinya dan memberinya masker. Lalu, muncul erdebatan apakah ibu mau terus melanjutkan ke Pasar Demangan atau tidak. Saya menyarankan untuk tidak tetapi katanya, tempe koro yang dibawanya akan basi kalau dijual keesokan harinya, maka ibu pun bergegas berangkat. Dan kami tidak jadi membawa ketela mengingat ketela masih bisa dijual di lain kesempatan. Dan kami berangkat, tetapi abu vulkanik semakin tebal dan ibu saya menyerah. Namun, saya punya usul agar sepeda ibu dititipkan saja di Pasar Telo, dan saya memboncengkan ibu beserta barang dagangan ke Pasar Demangan. Ibu setuju. Kami pun berangkat ke Pasar Demangan dengan satu helm. Jalanan yang biasanya ramai pun mendadak sepi.


06.28 WIB, Tugu Jogja


06.30 WIB, McD Jl. Jend. Sudirman


06.57 WIB, Malioboro


07.00 WIB, Titik 0 Km Kota Jogja

Pasar Demangan juga sepi. Setelah sampai di Pasar Demangan, saya pun pulang untuk mengambil helm dan memberikan masker kepada kakak, kakak ipar, dan keponakan saya yang semalam menginap di rumah saya karena debu vulkanik sampai di daerah saya di Sewon Bantul. Dalam perjalanan pulang, saya sempat berkeliling kota dan menangkap moment-moment di beberapa titik penting Kota Yogyakarta. Sempat juga menengok ke kampus di Bulaksumur. Sepulangnya, saya mencari masker buat orang rumah tetapi di mana-mana habis. Di apotik, Indomaret, bahkan Alfamart sudah kehabisan stok. Lalu saya menyesal kenapa pagi tadi tidak langsung beli dalam jumlah banyak. Di mana-mana masker habis dan saya belum juga menyerah mencarinya. Saat menyerah karena di mana-mana sudah kehabisan stok, di jalanan, saya mendapati pemuda-pemudi sedang menenteng sekotak masker di pinggir jalan. Saya berpikir, oh, mereka mencoba mencari untung dengan membeli masker dalam jumlah banyak untuk dijual kembali daalam harga yang mahal. Tanpa pikir panjang dan karena kelalahan pun saya menghampirinya. Kebetulan di Jl. Sisingamangaraja hujan air, saya memakai mantel kemudian berhenti di pinggir jalan dekat para pemuda-pemudi itu. Lalau saya membelinya dan ketika saya tanya berapa harganya, mereka bilang gratis. Subhanallah. Saya pun meminta tiga buah. Amat terpujilah mereka, pagi-pagi datang ke jalanan membagi-bagikan masker gratis kepada para pengguna jalan. Mereka ternyata relawan, mata saya sempat berkaca-kaca.


06.16 WIB, Gerbang UGM
06.49 WIB, Balairung UGM


06.43 WIB, Taman GSP UGM

Akhirnya, saya sudah mendapatkan masker dan segera pulang ke rumah untuk istirahat sebentar dan sehabis itu balik lagi ke pasar untuk menjemput ibu. Rencana ke perpustakaan pagi tadi pun batal, padahal sudah masuk tanggal pengembalian. Tidak apa-apalah, toh, dendanya hanya tidak boleh meminjam selama hari keterlambatan saja.


Foto selfie dulu di kampus

Hujan abu kali ini, menurut saya labih parah daripada hujan abu saat letusan Gunung Merapi pada tahun 2010 lalu saat saya sedang berangkat ke SMK.

Komentar