Bedah Buku "Maya" karya Ayu Utami di Togamas Affandi

Bedah buku "Maya" di Djendelo Cafe (Dok. Galih Pangestu Jati)


SABTU, 22 Maret 2014, sekitar pukul 16.30 WIB dan bertempat di Djendelo Cafe, Jalan Affandi no. 1, Condong Catur, Depok, Sleman, Yogyakarta, tepatnya di lantai atas Toko Buku Diskon Togamas Affandi, bedah buku terbaru karya Ayu Utami yang berjudul Maya digelar. Kafe yang biasanya sepi mendadak sesak dipenuhi oleh orang-orang yang ingin mengikuti acara atau sekadar melihat lebih dekat Ayu Utami. Sekitar seratus orang tumpah ruah menghadap ke Ayu Utami. Bedah buku ini bertajuk “Bedah Buku karya Ayu Utami”, begitu yang saya lihat di spanduk besar yang menjadi latar belakang atau backdrop acara tersebut. Acara bedah buku ini menampilkan Ayu Utami sebagai pembicara dan Lulu sebagai moderator.

Saya duduk di barisan paling belakang lesehan yang bertikar, karena di belakangnya lagi masih ada tetapi tidak beralas tikar dan ada tempat duduk juga di bagian belakang. Saya duduk di barisan tersebut bersama, Galih Pangestu Jati, Indiana Malia, Ilfat, dan di belakang pojok juga ada juga anak Sastra Indonesia UGM, yaitu Yenny dan Ari. Mayoritas pengunjung bedah buku adalah perempuan. Pengunjung bedah buku ini mayoritas adalah pembaca bukunya atau pembaca buku-buku Ayu Utami, kecuali saya yang baru membaca dua novelnya, Saman dan Larung.

Maya adalah novel ketiga dari "Seri Bilangan Fu" yang direncakan berseri hingga dua belas novel. Penulisan Maya, mengingatkan para pengunjung akan dua novel pertama Ayu Utami yang berjudul Saman dan Larung. Penciptaan Maya membuat pembaca berspekulasi apakah ada hubungan antara ketiga novel tersebut dan bagaimana urutan membaca novel-novel Ayu Utami. Sebagai pengunjung bedah buku yang belum membaca, saya hanya diam saja dengan duduk lesehan sembari menikmati suguhan gratis yang disediakan. Saya hanya mencatat apa yang saya rasakan penting dan perlu dicatat.

Suasana Bedah Buku (Dok. Galih Pangestu Jati)
Sesi pembicaraan novel yang dilakukan oleh Ayu Utami dapat saya bagi menjadi lima tahap, yaitu sebagai berikut. Pertama, Ayu Utami membicarakan masalah reformasi yang menurutnya, kita harus terus mengingat slogan "Menolak Lupa" karena banyak orang hilang kala itu, seperti, misalnya, Wiji Thukul. Kedua, masalah teknis, Ayu Utami menceritakan bagaimana  mengenalkan pusaka Nusantara, ide menceritakan kembali Saman dan Yasmin—yang sebelumnya ada di novel Saman dan Larung—hingga bagaimana ia membuang sebagian cerita yang ada dalam novel Saman dan Larung di dalam novel Maya agar lebih terkonsentrasi dan fokus. Ketiga, mengenai bagaimana membaca novel-novelnya, karena ada isu bahwa membaca novel-novelnya harus urut, tetapi menurut pengakuannya, membaca novel-novel miliknya tidaklah harus urut atau kronologis, sebab, hidup itu tidak pernah linear dan kita adalah manusia yang bebas dengan berbagai pilihan. Keempat, dia membahas bagaimana di dalam novelnya, selalu muncul tokoh-tokoh yang taksempurna, bagaimana sikap kita terhadap mereka karena menurutnya apa artinya Tuhan yang adil menjadi absurd tatkala kita tidak pernah memaknai ketidaksempurnaan mereka. Kelima atau yang terakhir, sesi tanya jawab, ada banyak yang diutarakan pengunjung yang juga bertindak sebagai pembaca dalam sesi tanya jawab, seperti bagaimana Ayu Utami berproses kreatif, pemaparan ekofeminisme, isu-isu feminisme dan wacana patriarki, dan artefak-artefak spiritual yang ada dalam novel-novel terbarunya.

Sesi tanya jawab menyediakan kesempatan bagi sepuluh penanya, karena pihak penerbit menyediakan sepuluh buku notes sebagai hadiahnya. Ada sepuluh penanya, tetapi penanya terpaksa ditambah menjadi sebelas karena ada yang memaksakan diri untuk bertanya, yaitu seorang anak yang masih kecil, sepertinya masih duduk di bangku sekolah dasar. Si anak itu maju begitu dipersilakan, tetapi baru saja memegang mikrofon dan pengunjung tahu bahwa itu anak kecil, maka tawa muncul menhujaninya, seketika itu si anak kecil itu ingin menangis dan bersiap untuk mundur, tetapi moderator menahannya dengan dituntunnya ia bertanya. Si anak menanyakan perihal novel Cerita Cinta Enrico, yang membuat pengunjung terheran-heran, bagaimana mungkin anak sekecil itu membaca novel dewasa tersebut. Saya juga merasa aneh, mengapa di bedah buku novel dewasa, ada anak kecil yang ikut—duduk di barisan paling depan pula. Ternyata pertanyaan yang dilontarkan tersebut berasal dari ibunya yang tidak mau bertanya sendiri tetapi mengorbankan anaknya yang masih kecil.

Sayang sekali, saya tidak menyempatkan diri untuk meminta tanda tangan dan foto bersama Ayu Utami. Hal tersebut dikarenakan saya tidak sedang membawa novelnya dan ponsel saya dan teman saya yang berkamera bagus mendadak mati. Namun, saya sudah punya novel bertanda tangan asli Ayu Utami dari bedah buku sebelumnya di tempat yang sama tahun lalu.

Komentar