Ketoprak Jenderal Besar atawa Marsekal Guntur di PKKH UGM

Dalam rangka Dies Natalis Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada yang ke-68, FIB mengadakan pementasan ketoprak pada 8 Maret 2014 bertempat di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) mulai pukul 19.00 WIB. Naskah yang dipentaskan berjudul "Jenderal Besar atawa Marsekal Guntur" yang ditulis oleh Ibu Cahyaningrum Dewojati berdasarkan Hikayat Mareskalek karya Abdullah bin Muhammad al-Misri. Ibu Cahyaningrum Dewojati tidak hanya menulis naskah, tetapi juga menjadi sutradara bersama Bapak Sudibyo, dan menjadi salah satu pemain dalam pementasan. Para pemain adalah dosen dan mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya UGM. Berikut sinopsisnya yang diambil dari website FIB UGM.

Hikayat Mareskalek yang diadaptasi menjadin lakon ketoprak Jenderal Besar atawa Marsekal Guntur tampaknya ditulis untuk menyudutkan orang Jawa dan mengagungkan orang kulit putih dalam hal ini Mareskalek (Daendels). Tidak begitu jelas motivasi pengarang menempatkan orang Jawa dan feodalisme Jawa dalam posisi pinggiran seperti itu. Yang pasti ia sangat kritis dalam melihat berbagai kekurangan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Jawa. Posisinya itu kadang-kadang digunakannya untuk merendahkan orang Jawa sebagai orang kulit hitam meskipun ketika menyampaikan hal itu ia menggunakan tokoh Mareskalek ( Daendels).

Dijelaskan oleh Mareskalek bahwa kehancuran kerajaan-kerajaan Jawa terjadi karena raja-raja Jawa hanya melestarikan apa yang telah diwariskan oleh para leluhurnya tanpa berusaha untuk mengembangkan segala potensi yang sudah ada itu untuk kemakmuran negerinya. Di samping itu, keluarga bangsawan Jawa sangat mementingkan kehidupan keduniawiaan meskipun tidak didasari oleh etos untuk merebut harta benda dunia secara utuh. Orang Jawa juga dicitrakan sebagai bangsa yang bodoh, tidak efisien, dan memiliki syahwat seksual yang kuat. Penstereotipan ini tampaknya digunakan untuk menjelaskan ketergantungan (feodalisme) Jawa kepada bangsa kulit putih yang sepanjang hikayat dicitrakan sebagai bangsa yang superior. Inferioritas ini mengukuhkan bahwa dominasi bangsa kulit putih atas Jawa adalah legal. Jawa pantas mendapatkan pencerahan karena masih diliputi kegelapan.

Mareskalek terus-menerus menyudutkan bumiputra Jawa dengan cara melucuti hak-hak istimewa aristokrat Jawa. Dengan mudahnya, seorang petani biasa dikukuhkan sebagai tumenggung. Selain itu, orang-orang yang dianggapnya berjasa karena membantu menggerakkan perniagaan komoditas yang laku di pasar Eropa, seperti kopi dan cengkih,dimuliakannya menjadi Jenderal Kopi dan Jenderal Cengkih. Mareskalek tidak berhenti sampai di situ. Ia merasa bahwa ia adalah maharaja Jawa yang sesungguhnya karena raja-raja Jawa dari Barat sampai ke Timur telah takluk di bawah kekuasaannya. Untuk itu, ia menobatkan dirinya sebagai raja diraja Jawa dengan gelar yang dipilihnya sendiri, yaitu Kanjeng Susuhunan Mangkurat Mangkubuwana. Penobatan Mareskalek sebagai Kanjeng Susuhunan Mangkurat Mangkubuwana menyebabkan Sunan Kalijaga murka. Ia hadir dalam mimpi Mareskalek dan mengingatkannya bahwa tindakannya keterlaluan. Dengan segenap kewibawaannya, Sunan Kalijaga mengingatkan bahwa kekuasaan Mareskalek telah berakhir karena telah menyalahgunakan wewenang yang diamanatkan kepadanya. Mareskalek menyadari kekeliruannya, tetapi telah terlambat. Surat pemanggilan pulangnya ke negeri Belanda telah dilayangkan oleh Kaisar Napoleon. Mareskalek pulang ke Belanda dengan menyimpan kekecewaan.

Secara garis besar, ketoprak ini menghadirkan berbagai sindiran dalam komedi yang segar. Lawakan yang segar kebanyakan keluar dari konteks pementasan, seperti membicarakan pemain sebagai orang nyata bukan pada karakternya. Namun, para dosen yang kebanyakan dari jurusan Sastra Indonesia bermain sangat bagus dan keren. Saya selalu pangling dengan siapa pemainnya. Setelah dibisikin bahwa itu dosenku, maka saya membandingkan dengan penampilannya di kampus. Ada dosen yang paling saya tunggu-tunggu kehadirannya, yaitu Ibu Cahyaningrum Dewojati yang bermain total setotal-totalnya. Dari segi tata panggung dan dekorasi juga kostum, pementasan ini luar biasa enak dilihat. Sebenarnya saya kurang bisa berkomentar mengenai pementasan ketoprak karena mungkin saya butuh banyak menonton ketoprak untuk dapat mengomentari secara panjang lebar.

Oh, iya, ada satu yang saya rasa menjadi kekurangan pementasan ini sekaligus menjadi kendala bagi para penonton yang beragam, yaitu masalah bahasa yang dipakai. Bagi sebagian besar penonton mungkin bisa berbahasa Jawa, tetapi banyak juga, lho, yang tidak bisa berbahasa Jawa sehingga mungkin orang di sampingnya agak risih karena selalu ditanyai apa artinya. Namun, karena ini ketoprak dan artinya dalam KBBI adalah sandiwara berbahasa Jawa ya itu bukan kekurangan, sih. Ada lagi, masalah suara yang tidak konsisten, buka masalah teknis, tetapi masalah power dari masing-masing pemainnya yang kadang besar dan kadang kecil hingga sedetik saja tidak menyimak, kita tidak tahu apa yang dia katakan. Namun, saya rasa apa yang Ibu Cahyaningrum coba sampaikan sudah berhasil tanpa harus menggurui penonton tentunya lewat komedi-komedi segar ala Jawa. Itu saja, mungkin sudah cukup.

Sumber sinopsis: http://fib.ugm.ac.id/main/2014/02/pementasan-kethoprak/

Komentar