Menghapus Lara


Ilustrasi oleh Minggu Pagi

Cerpen Achmad Muchtar (Minggu Pagi No.45 Th.65, Minggu I Februari 2015, Jumat, 6 Februari 2015); ilustrasi oleh Minggu Pagi.

“INI sangat berbahaya!”
“Tidak apa-apa, Dok. Lakukan saja!”
“Tapi ….”
“Lakukan saja, Dok! Saya sudah siap lupa semua tentang mantanku ini. Saya juga telah mengirimkan sebuah surat kepada tunangan saya apabila eksperimen ini gagal.”
“Apakah Anda benar-benar yakin?”
“Saya yakin, Dok.”
***

PIKIRAN Satria berkecamuk. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana melupakan Lara, mantan kekasihnya. Lara begitu membekas di hatinya. Ia tak bisa menghilangkan jejak-jejak ingatan Lara pada Laura, tunangannya kini. Dari bentuk tubuh, raut wajah, hingga tingkah lakunya, Laura mirip dengan Lara. Mungkin, Satria berpacaran dengan Laura sebagai obat telah berpisah dengan Lara, perempuan yang telah mengisi hari-harinya selama lebih dari empat tahun. Bayang-bayang Lara selalu muncul dalam ingatannya, termasuk pada Laura. Pernah ia salah mengucapkan nama Laura menjadi Lara yang membuat pesta pertunangan menjadi kacau karena Satria kemudian dihujat dan puncaknya diguyur segelas air oleh Laura.

Begitu putus dari Lara yang ternyata tidak setia, Satria menjadi pemurung. Ia masih begitu mencintai Lara. Lara merupakan satu-satunya sosok perempuan yang paling sempurna di matanya. Ia telah menyesal telah mengatakan kata putus kepada Lara ketika diketahuinya Lara berselingkuh dengan lelaki lain. Ia merasa terpukul telah memutus hubungan kasihnya dengan Lara. Ia mencoba berhubungan kembali dengan Lara berkali-kali, tetapi selalu gagal dan malah undangan pernikahan Lara dengan lelaki lain balasannya. Ia benar-benar masih menginginkannya. Namun sayang, janur kuning telah melengkung. Sedu penghabisannya sia-sia. Ia menjadi pemurung dan sibuk dengan hobinya mereka-reka mesin.

Ia mencoba melupakannya, tetapi tidak bisa. Bayang-bayang Lara selalu ada dalam pikirannya. Matanya yang bening sebening embun dan senyumnya yang bagaikan pelangi di pagi hari telah membutakan mata Satria. Kini, semuanya telah menjelma menjadi Laura, karena Lara telah menjadi milik lelaki lain, bukan dirinya lagi. Ia tak henti-hentinya murung. Bahkan, ia sering menangis karena hanya bisa membayangkannya saja tanpa bisa memilikinya.

Pernah ia bermimpi menciptakan mesin waktu untuk bisa kembali ke hari-hari saat ia masih bersama Lara. Ia ingin kembali ke awal mula saat mereka pertama kali bertemu. Di gedung bioskop, saat mereka tidak sengaja duduk berdampingan menonton film Eternal Sunshine of the Spotless Mind. Tangan mereka tidak sengaja saling bersentuhan saat adegan Joel mencoba melarikan Clementine dari penghapusan memori. Mereka berdua sama-sama datang ke bioskop sendiri dan sama-sama sedang lajang dan sama-sama menyukai film itu.

Perbincangan mengenai film itulah awal mula hubungan mereka di luar bioskop. Berlanjut ke sebuah perbincangan romantis hanya milik mereka berdua dan mereka akhirnya menjadi sepasang kekasih. Pahit dan manis kehidupan telah mereka lalui bersama hingga perselingkuhan yang memisahkannya. Dan akhirnya, pernikahan Lara membuat Satria semakin jatuh dengan bayang-bayang Lara yang tak mungkin ia dapatkan lagi.

Hingga ada Laura, teman kuliahnya di jurusan teknik yang senantiasa mengingatkannya pada kuliah dan berusaha menghiburnya. Ia menyadari, Laura sangat mirip dengan Lara, maka inilah yang membuat Satria menginginkan Laura untuk menjadi kekasihnya, pengganti Lara. Mereka memang berpacaran. Namun, Laura menjelma menjadi sosok yang merana, ia selalu mendapati Satria membayangkan dirinya sebagai Lara. Tentunya ia sangat sakit hati. Bahkan, ia pura-pura mengiyakan bahwa ia adalah Lara saat Satria membayangkan mantan kekasihnya.

Sudah berkali-kali Laura tegar menghadapi sikap Satria, dan puncaknya, saat pertunangan itu, Satria tidak sengaja menyebut Laura sebagai Lara di depan para undangan. Laura sangat malu, ia lalu mengguyurkan segelas air yang ia bawa ke muka Satria lalu cepat-cepat meninggalkan Satria sambil menjerit dan menangis. Orang-orang yang datang di pesta pertunangan pun mencibir dan menghujat Satria.

“Maafkan aku, Lara, eh … Laura. Maafkan aku,”

Satria mengetuk pintu kamar Laura pelan-pelan. Ia tahu Laura sedang menangis di dalam kamarnya dan ini merupakan kesalahan Satria.

“Lupakan dia atau kita tak jadi menikah!”
“Aku sudah berusaha melupakannya, Laura.”
“Tapi kau tak pernah bisa melupakannya.”

Satria sadar bahwa melupakan mantan kekasihnya adalah suatu tindakan bodoh dan sia-sia belaka. Walaupun sudah berusaha mati-matian tetapi tetap saja sang mantan masih tetap hidup dalam memorinya. Ia kemudian menyandarkan diri pada pintu lalu menjatuhkan badan ke lantai. Kepalanya masih bersandar pada pintu kamar Laura.

“Bagaimana caranya agar aku bisa melupakannya, Lauraku sayang?”
“Percuma kamu bergelar sarjana kalau kau sendiri masih mempertanyakan hal yang sebenarnya sepele.”
“Ini beda, Lar …, eh Laura ….”
“Pakai mesin-mesin kamu itu untuk menggembleng otakmu, Bodoh!”
“Laura …!!!” Satria terus mengetuk-ngetuk pintu kamar Laura makin lama makin keras.
“Kau boleh temui aku setelah kau benar-benar lupa pada mantanmu itu. Terima kasih.”
“Laura …!!!” seketika tangan Satria berhenti mengetuk pintu. Ia bangkit. Tertunduk lesu, lalu pulang dengan kecewa.
***

SUATU hari, ada seseorang datang menemui Laura. Ia memberikan sepucuk surat kepadanya, lalu pergi. Dibacanya surat itu:

Laura tercinta,
Melalui surat ini kukabarkan bahwa pukul sepuluh di hari jadi hubungan kita yang pertama aku ingin memenuhi keinginanmu. Aku ingin melupakan mantanku dengan caraku sendiri yang jika berhasil dijamin 100% aku bisa melupakannya. Kebetulan aku bekerja sama dengan dokter yang ahli pemetaan otak. Aku telah membuat sebuah mesin penghapusan memori otak.[1] Ini memang hasil perenunganku selama beberapa bulan belakangan ini. Kemungkinannya ada tiga dari hasil kerja mesin ini. Pertama, aku benar-benar bisa melupakan dia. Kedua, seluruh memori yang tersimpan di otakku akan terhapus seperti amnesia. Tapi yang ketiga, inilah risiko dari mesin baru dan belum pernah dicoba sebelumnya: aku bisa gila. Aku sudah memikirkannya dengan sungguh-sungguh risikonya. Aku tidak ingin mengecewakanmu, Laura. Aku ingin menemuimu lalu kita menikah. Setelah kamu membaca surat ini, aku harap kamu bisa memaafkanku dan menemuiku.
Salam cinta,
Satria Wijaya

Laura terdiam sejenak. Memikirkan apa yang baru saja ia baca. Setelah memahami isi surat itu dan melirik arlojinya, ia segera memacu kencang mobilnya, pergi ke laboratorium mesin tempat biasanya Satria menciptakan mesin-mesin baru. Ia tahu hari ini adalah tepat satu tahun mereka menjalin hubungan. Ia terus berpacu dengan waktu, ingin mencegah Satria melakukan eksperimen gilanya ini. Ia tahu bahwa Satria tidak pernah main-main dengan perkataannya.

“Kau sudah gila, Satria!”

Laura terus mengencangkan laju mobilnya. Ia tak mau terlambat sedikit pun. Ia terus melawan waktu. Klakson mobilnya sering ia tekan untuk membuat perjalanannya tak terhambat. Sesekali ia mengingat betapa merananya Satria dan betapa ia tak ingin mengecewakannya. Ia tahu Satria sangat sayang padanya, tetapi masa lalulah yang menghambat sebuah kisah yang seharusnya tak semerana ini.

Semakin ia mengingat Satria, semakin banyak pula air matanya yang keluar. Laura melirik jam tangannya. Ia terkejut, ia kurang cepat melajukan mobilnya. Ia pun menambah kencang laju mobilnya sembari sering membunyikan klakson. Sebentar lagi sampai, tetapi sial, terjadi kemacetan panjang. Ia malah semakin banyak membunyikan klaksonnya. Namun, sia-sia, mobilnya tetap saja diam di tempat.

Ia melirik jam tangannya lagi. Ia sedang diburu waktu. Tanpa berpikir panjang, ia keluar dari mobil. Lari sekuat tenaga menuju laboratorium mesin. Laboratorium yang berukuran besar pun tampak. Ia sudah sampai di pintu gerbang. Belum juga masuk laboratorium, ia sudah berteriak.

“Satria …!!!”

Namun, malah seseorang berjubah putih yang tak ia kenali yang menemuinya. Ternyata dokter.

“Kau sudah baca suratnya?”
“Sudah, Dok,” jawab Laura dengan napas tersengal-sengal.
“Sekarang temui dia!”
“Baik, Dok.”

Segera Laura menuju sebuah ruangan yang membuat jantungnya semakin berdegup kencang. Ia berhenti di depan pintu. Otaknya masih bekerja. Ia kembali mengingat surat yang diberikan kepadanya. Ia memikirkan kemungkinan yang akan dialami Satria. Jantungnya semakin berdegup kencang.

Dengan hati-hati Laura membuka pintu ruangan itu. Didapatinya Satria terkulai lemah pada sebuah ranjang dengan pakaian serbaputih kehijauan. Di kepalanya masih terpasang perban. Di sekelilingnya terdapat mesin-mesin yang belum pernah ia jumpai sebelumnya. Dengan langkah hati-hati ia mendekati Satria, lalu duduk di samping ranjangnya. Ia tahu Satria masih terjaga.

“Satria, Sayang ….”

Satria membuka mata. Terdiam sejenak memandang wajah Laura sambil mengernyitkan dahi.

“Mmm … maaf, Anda siapa?”

Bantul, 3 Februari 2013


[1] Terinspirasi film Eternal Sunshine of the Spotless Mind.

Komentar