Cerpen Achmad Muchtar (Kali pertama diterbitkan oleh Kibul.in: Bicara Sastra dan Sekitarnya, 16 Mei 2017; foto diambil dari kibul.in)
KAU masih ingat? Kala itu, bumi berguncang. Tembok-tembok
mengelupas setelah sebelumnya bergetar hebat; mengeluarkan batu bata
dari bungkusan beton yang sudah kering dan rapuh. Kayu-kayu atap terjun
disertai genting-genting yang pecah berkeping-keping. Jeritan bercampur
tangis haru, teriakan disertai panggilan kepada Tuhan, menyesaki ruang
hampa di sela-sela gemuruh. Hujan debu memancar dari setiap rumah yang
akan rata. Yang tersisa hanyalah segitiga kehidupan: ruang kosong di
bawah reruntuhan; di sudut bawah dari setiap pertemuan tembok dengan
lantai, bentuknya menyerupai limas segitiga yang ujungnya jatuh ke
samping, yang ketiga sisinya siku-siku di ujung limas itu, sedangkan
sisi yang menghadap ke atas berupa reruntuhan atau kosong.
Peristiwa itu membawa ancaman yang datang dari dua kutub. Mempertanyakan: apakah gelombang besar dari Laut Selatan ataukah wedhus gembel
dari Merapi yang bakalan memorakporandakan tanah kita? Mungkin tsunami.
Mungkin letusan Merapi. Orang-orang gempar; berlarian ke segala
penjuru. Menjadi makhluk paling egois. Orang-orang berkerumun bingung.
Aku pun bingung. Ingin menghindari wedhus gembel dengan berlari
ke selatan ataukah menghindari tsunami dengan berlari ke utara. Namun,
pada akhirnya kami bersatu, menatap lekat Merapi dari sawah yang lapang.
Awan tebal membubung tinggi di atas kubah Merapi. Namun, ia tidak
meletus, juga tak ada tanda-tanda air bah datang. Kita semua tertipu.
Aku yakin, kala itu Tuhan pasti tertawa.
Kau tahu, semenjak pagi itu, anak kita jadi kesepian. Dalam hitungan
detik, gerakan magma kerak bumi mengubah segalanya; impian jadi
kehilangan, harapan jadi kebimbangan. Dan, rencana tentang keluarga
bahagia yang kita pupuk di pelaminan musnah, menjadi butiran-butiran tak
kasat mata.
***
KAU ingat, beberapa tahun sebelum pernikahan kita, di hamparan padang
ilalang kala senja itu, menggurat tapak tangan kita yang senang
menggapai-gapainya. Kemudian, kita berbaring dengan bersandar di atas
rerumputan nan hijau. Dari bulan yang tertusuk ilalang itu binarnya
memantul pada dua wajah kita yang rapat. Serupa laut kala senja yang
menggenang. Bintang jatuh. Sekian detik kita bergeming; menatap hati
kita masing-masing. Memantrakan doa-doa dan harapan-harapan. Kita
sama-sama tahu, berdoa saat bintang jatuh adalah saat-saat paling
mujarab untuk dikabulkan.
Kuduga doa dan harapan kita sama. Maka, sekian bulan berlalu dan
akhirnya kita menikah juga setelah sekian lama berjuang; mendapatkan
restu dari orang tua dan negara. Perjuanganku untuk mendapatkanmu tak
sia-sia. Setelahnya, impian kita terlaksana. Kita mendiami rumah yang di
sekelilingnya hamparan sawah yang hijau, lengkap dengan gubuk di
belakang, orang-orangan sawah yang berbanjar di kiri, dan kolam ikan
kecil dengan bunga teratai di kanan, sedangkan di depan adalah taman
bunga (persis seperti lukisanmu). Kau suka bunga melati, karena itu, kau
menamai anak pertama kita Melati. Dan, kau juga lebih suka fajar
ketimbang senja, maka kau menamai anak kedua kita Fajar.
Semua keinginan kita terkabul, kecuali anak laki-laki kita. Ada yang
berbeda dari Fajar anak kita. Ia tidak tahu bagaimana bersikap seperti
manusia pada umumnya. Padahal, kita juga sama-sama tidak bisa
mendefinisikan bagaimana manusia pada umumnya. Memang, barangkali, pada
umumnya, anak-anak bangun pagi-pagi, lalu mandi, sarapan pagi, sekolah,
lalu makan siang, tidur siang, bermain, mandi, minum susu, lalu tidur
kembali. Namun, Fajar tidak bisa melakukan semua hal seperti itu; ia
tidur dan bisa bangun kapan saja; makan apa saja yang ada di hadapannya.
Jika Melati bisa mandi sendiri, Fajar tidak bisa, ia harus dimandikan
oleh kamu atau aku. Ia lebih banyak bermain dengan dirinya sendiri
ketimbang dengan teman satu-satunya: Melati.
Apakah jika Fajar tidak bisa bersikap seperti anak-anak pada umumnya, ia tidak bisa disebut manusia? Ia tidak normal? Kau menangis kala itu.
***
“Ayah, apakah mereka tidak mau menyelamatkan Fajar karena ia berbeda?” tanya Melati.
Aku tersentak, tak bisa menjawab.
Tuhan menguji kita. Entah Dia sayang entah benci.
Saat ia lahir, kudengar cercaan datang bertubi-tubi: ia cacat, ia bukan manusia, ia tidak normal, ia aneh,
tetapi kau tetap memeluknya; melindungi telinganya dari suara-suara
itu. Kau selalu menyembunyikan Fajar dari tontonan orang-orang yang
mencari hiburan. Hingga setiap malam kau selalu menahan untuk tidak
menangis saat menidurkannya.
Kau pernah murka, memaki-maki semua nama Tuhan yang kau ketahui: Ia bukan Yang Maha Pengasih, Ia bukan Yang Maha Penyayang, Ia bukan Yang Maha Adil,
dan sebagainya. Hingga suatu ketika kau putus asa menormalkan kelakuan
Fajar. Kau bilang ia bodoh dan tak berguna. Fajar kau kurung di kamar
sendirian. Kau tahu, aku kehilangan dirimu yang pantang menyerah kala
itu. Sungguh, aku benar-benar tak mengenalimu lagi.
“Yah, Ibu pernah bilang Fajar bodoh. Orang-orang juga bilang begitu.
Apakah orang yang tidak sekolah itu akan bodoh? Fajar tidak pernah
sekolah.”
“Tidak, Nak. Sebaliknya, dia cerdas, sangat cerdas. Walaupun dia
tidak sekolah seperti kamu dan teman-temanmu, Fajar tidak bodoh. Kamu
juga harus tahu, belajar tidak harus di sekolah; dengan pakaian,
buku-buku, atau teman-teman yang semuanya seragam. Belajar bisa dengan
apa saja, di mana saja, dan kapan saja. Fajar belajar di mana saja. Ia
banyak belajar mengobservasi lingkungan sekitarnya, di sekitar rumah
kita.”
***
SUATU pagi, di sebuah tanah yang lapang, ratusan orang berkumpul.
Muka mereka antara percaya dan tidak percaya. Bau amis darah menguar ke
udara. Obat-obatan bergelimpangan. Tenda-tenda didirikan. Jeritan,
tangisan, dan teriakan, semakin mengharubirukan suasana. Sirene ambulans
memecahkan pengap dan harap. Wartawan-wartawan sibuk mencari uang.
Bantuan makanan datang beberapa jam kemudian.
Mata Melati masih terlalu jernih, untuk melihat teman-temannya yang
mati syahid. Juga mayat-mayat yang bergelimpangan di serambi masjid;
yang antre untuk dimandikan dan kemudian dibawa ambulans untuk
dimakamkan. Telinganya juga masih terlalu bersih untuk mendengar
jeritan, tangisan, dan teriakan yang memekakkan. Namun, semua itu
berangsur-angsur kabur sebab hujan telah mengguyur. Semuanya luntur
beserta darah-darah yang merah. Rumah-rumah pun semakin rubuh tak kuasa
menahan tekanan hujan atau sengaja untuk dirubuhkan. Rata dengan tanah.
“Kita beruntung, Nak, dapat selamat dari gempa,” kataku mengalihkan
perhatian Melati yang sedang mendengar jeritan dan tangisan haru.
“Tidak seperti Fajar?” Melati merengut.
“Dan beberapa teman-temanmu.”
“Mengapa Ayah tidak menyelamatkan Fajar?” Kulihat matanya mulai basah.
“Sebab, dia sudah berada di tempat yang tepat.”
“Di dalam rumah ambruk? Agar dia mati?” tanyanya dengan nada yang meninggi.
“Tidak, Nak, Fajar anak yang patut dibanggakan. Dia tidak bodoh. Dia
berada di tempat yang tepat kala itu. Dia sudah bisa menyelamatkan
dirinya sendiri.”
“Tapi, kenapa dia tidak selamat, Yah?”
“Karena dia diselamatkan,”jawabku singkat, ingin segera menyudahi percakapan yang mengharukan ini. Tak kuasa air mata tak dapat kubendung lagi.
“Kulihat hanya Ibu yang menyelamatkan Fajar. Orang-orang hanya melihat sambil teriak dan menangis saja, Yah.”
“Ayah juga diam saja, Nak. Maafkan Ayah. Tetapi, ibumu yang salah.”
“Bukankah Ibu penyelamat? Kenapa Ibu salah? Bukankah Ayah bilang kalau Ibu mati syahid karena menyelamatkan Fajar.”
“Iya, Nak. Ibumu penyelamat. Ayahlah yang salah. Maafkan Ayah, ya.”
Kupeluk Melati yang mulai tersedu-sedu. Kami menangis.
Kelak aku akan bercerita jika ia sudah besar.
“Kala itu, aku dan ibumu di dapur. Kamu masih di kamar. Juga Fajar.
Kamar Fajar terpisah dari kamar kita. Aku bergegas membawamu dan
menyeret ibumu keluar. Tiba-tiba kita teringat Fajar masih berada di
dalam. Ibumu panik bukan main. Sementara, tembok-tembok kamar Fajar
sudah bolong (kulihat Fajar jongkok di pojokan kamar, di segitiga kehidupan!).
Kamu histeris. Ibumu menyerahkan kamu pada gendonganku. Kutarik tangan
ibumu agar tak bertindak bodoh, tapi ibumu melepas-paksa. Kurasakan
tangan ibumu bergetar. Gempa pun berhenti. Ibumu masuk rumah kita yang
setengah ambruk; menarik Fajar ke gendongan ibumu. Ibumu tak menyadari
walaupun gempa sudah berhenti berguncang, bukan berarti rumah berhenti
bergerak. Atap yang kayunya besar-besar itu menimpa ibumu, juga Fajar.
Kuhalangi pandanganmu dengan menutup matamu.”
***
PADA suatu malam, kunang-kunang beterbangan. Membuat terang malam
yang berwarna jelaga. Barangkali ada jelmaanmu di antara mereka.
Kupanjatkan doa: Semoga kau …. Ah, semoga kalian tenang di sana ….
Melati akhir-akhir ini sering menangis.[]
Bantul, 3 Juli 2014
Komentar
Posting Komentar