Eksplorasi Makhluk-Makhluk Marginal dalam Sajian Sinema yang Indah



Ulasan Achmad Muchtar terhadap film The Shape of Water (2017) karya Guillermo del Toro. Pernah dipublikasikan di Kibul.in: Bicara Sastra dan Sekitarnya, 26 Mei 2018. Gambar hak cipta oleh 20th Century Fox.

Sebelum tayang di bioskop Indonesia pada 29 Maret 2018 lalu, film ini sudah ada rencana rilis jauh-jauh hari, yaitu sekitar akhir tahun 2017. Setelah tidak ada kabar kapan rilisnya film ini hingga berbulan-bulan setelah diumumkan akan rilis, akhirnya kabar akan rilis pun sempat diumumkan lagi, tentunya setelah film ini memenangi 4 Piala Oscar pada gelaran Academy Award ke-90 awal Maret lalu. Film ini sebelumnya mendapat 13 nominasi, jumlah terbanyak, dan menang 4 kategori, yaitu Best Original Score, Best Production Design, Best Director untuk Guillermo del Toro, dan Best Picture.
The Shape of Water bertutur tentang percintaan antara Elisa (Sally Hawkin) dan Amphibi Man (Doug Jones), makhluk ampibi yang ditemukan di sebuah perairan Amerika Selatan. Berlatar Perang Dingin tahun 1960-an, Elisa yang bisu bekerja di suatu perusahaan milik pemerintah sebagai tukang bersih-bersih. Suatu saat, kiriman berupa monster ampibi datang. Elisa diam-diam berinteraksi dengannya. Lambat laun Elisa jatuh cinta dengannya, dengan alasan bahwa hanya ia yang tak pernah peduli pada kekurangannya. Suatu saat, ketika Kepala Keamanan, Richard (Michael Sannon), mengumumkan bahwa monster itu berbahaya—dua jarinya putus akibat gigitan monster itu, Elisa kalang kabut dan berusaha menyelamatkannya. Ia mencari bantuan sahabat-sahabat terdekatnya, pria tua yang menampungnya di rumah, Giles (Richard Jenkins) yang homoseksual dan cintanya ditolak oleh pemuda pembuat pai, Zelda (Octavia Spencer) yang berkulit hitam dan merupakan rekan kerja terdekatnya, hingga dr. Robert (Michael Stuhlbart), dokter yang menangani monster itu, yang ternyata bersedia membantunya. Mereka bahu membahu menyelamatkan monster itu dari incaran Richard yang berusaha menjadikannya sebagai objek penelitian.
Alurnya memang termasuk sederhana, tetapi bagaimana Guillermo del Toro mengolahnya adalah hal yang luar biasa. Sejak menit-menit awal film ini menyajikan cerita layaknya dongeng dengan gambar dan suara yang indah. Palet warna yang menawan pun tersaji menawarkan kesan klasik sekaligus futuristik, realis sekaligus fantasi. Dengan palet warna itu, kita akan disajikan gambar-gambar yang indah, nuansa kota, bioskop, musik, acara televisi, kereta, dan busana khas tahun 1960-an. Adanya monster itu, yang kesannya misterius tetapi tampilannya indah, menjadikannya sosok yang seksi dalam film ini.
Film ini banyak mengekspos kaum underdog atau marginal. Elisa adalah perempuan bisu yatim piatu yang ditemukan di sungai. Elisa yang bisu menjalani hari-harinya dengan gerakan tangan, mimik wajah, dan dengusan. Ia bergerak lincah layaknya pemain teater. Gerakannya teatrikal, awalnya terkesan kaku seperti robot tetapi powerful. Kita akan melihat bagaimana ia melompat-lompat, menerjemahkan benda-benda, hingga marah dengan caranya sendiri. Elisa dirawat oleh Giles, seorang pria yang menjalani hidupnya sebagai pelukis. Hidup berdua dengan Elisa yang bukan saudaranya tidak meresahkan karena Giles bukan heteroseksual. Ia menyukai pemuda pembuat pai yang sebenarnya pai buatannya tidak enak. Ia ditolak lantaran ia sudah tua. Ditambah ia telah dipecat dari pekerjaannya membuat level terpinggirkannya makin kompleks. Elisa mempunyai sahabat sekaligus rekan kerja bernama Zelda. Zelda adalah wanita berkulit hitam yang suaminya pengangguran. Ia bekerja untuk menghidupi keluarganya. Tahun 1960 adalah masa krisis rasialisme terhadap etnis kulit hitam di Amerika Serikat.
Di balik ceritanya yang linier, sebenarnya film ini banyak menyampaikan kritik, terutama untuk kaum-kaum kalangan atas. Dimulai dengan rupa Tuhan. Dalam film diceritakan bahwa monster itu awalnya disembah bagaikan Tuhan. Muncul celetukan bahwa Tuhan tidak mungkin berbentuk seperti itu. Seorang karakter mengatakan bahwa Tuhan pasti menyerupai manusia, dan lebih mirip dirinya ketimbang karakter yang diajak bicara, yaitu orang kulit hitam. Lalu, Guillermo del Toro membalikkan itu semua. Bagaimana jika rupa Tuhan tidak seperti yang dibayangkan kebanyakan orang, dengan membuat karakter monster itu layaknya Tuhan (bagi orang Barat), dengan membuat monster itu dapat menyembuhkan luka hingga menghidupkan orang mati (mukjizat salah satu nabi dalam Islam). Namun, sayang sekali Guillermo del Toro gagal menampilkan karakter Tuhan melalui monster itu, karena ternyata monster itu lebih mirip manusia, penuh nafsu.
Lalu, saat seorang karakter ingin menemui atasannya, ia diminta untuk mengulangi caranya dengan lebih sopan dan mengikuti protokol yang ada. Maka, ini jelas-jelas menyindir kesenjangan kelas antara superior dan inferior. Dan, lagi, Guillermo del Toro membalikkan itu semua dengan menyajikan hal serupa dengan waktu dan tempat yang berbeda dengan motivasi yang berbeda pula. Dalam film ini sang sutradara seolah ingin menyampaikan bahwa kesenjangan kelas terjadi menurut kepentingannya masing-masing. Suatu saat satu karakter bisa lebih tinggi, suatu saat ia akan ada di bawah.
Guillermo del Toro memang identik dengan film-film yang menampilkan makhluk-makhluk aneh, contohnya Hellboy dan Pan’s Labyrinth. Film terakhir dinominasikan di kategori Best Foreign Language Film Academy Award. Namun, baru kali ini makhluk kreasinya diakui di ajang paling bergengsi ini. Tentunya ia menggabungkannya dengan isu-isu terkini. Para underdog, feminis, dan kaum bawah yang memberontak melawan kuasa dan perjuangan atas nama cinta. Bisa disimpulkan bahwa, selain Pan’s Labyrinth, inilah karya Guillermo del Toro yang sanggup menembus festival film berkelas dunia. Sebelum menang di Academy Award, film ini telah dahulu terpilih memenangi Golden Lion, anugerah film tertinggi, pada Venice International Film Festival 2017. Hal tersebut menjadikan The Shape of Water sebagai film yang menang di dua dari empat anugerah film paling bergengsi di dunia. (Empat anugerah film paling bergengsi yang saya maksud adalah Academy Award, Berlin International Film Festival, Cannes International Film Festival, dan Venice International Film Festival.) Sebelumnya ada Rain Man (1988) yang juga menang di dua dari empat anugerah film paling bergengsi tersebut, yaitu Academy Award dan Berlin International Film Festival.
The Shape of Water ibarat dongeng, meskipun karakter cantik dan buruk rupa mirip narasi Beauty and the Beast, tetapi saya berani menegaskan bahwa semuanya berbeda sekali. Sebagai si buruk rupa, monster dalam film ini terkesan indah, begitu pun si cantik, dalam film ini ia ternyata punya kekurangan. Karakter Elisa diperankan dengan baik oleh Sally Hawkin, yang memang diakui para juri dengan masuknya ia dalam daftar nominasi Academy Award kategori Best Actress, tapi sayang harus kalah dari Frances McDormand yang juga bermain apik di film Three Billboards Outside Ebbing, Missouri. Selain sinematografi dan palet warna yang memukau, film ini diiringi musik latar yang sangat menakjubkan, membuat saya jatuh cinta sejak menit-menit awal.
Di balik narasi percintaan si cantik dan buruk rupa, film ini banyak mengeksplor kaum-kaum marginal. Kita dapat menjumpai tokoh cacat, bisu, babu, monster, buruk rupa, tua, LGBT, perempuan, kulit hitam, pengangguran, seniman. Saya mengasumsikan bahwa ini merupakan cara Guillermo del Toro menyuarakan pemberontakannya atas struktur dan stigma masyarakat masa kini—atau barangkali ia menyuarakan dirinya sendiri sehingga ini adalah filmnya yang sangat personal. The Shape of Water adalah film drama fantasi yang indah. Keindahan sinema dalam hal narasi, gambar, suara, akting, musik, editing, sinematografi, tata artistik, dan sebagainya seolah menyatu dalam film ini. Di balik alurnya yang sederhana, sebenarnya film ini berbicara lebih banyak ketimbang kisah romansa. Kritiknya bahkan terselubung di dalam narasi besarnya. Salah satu film terbaik yang pernah saya tonton. Salah satu film terbaik yang pernah saya tonton di bioskop. Beruntung saya dapat menyaksikan film indah ini di layar lebar. []

Komentar